Cerita di balik Pesona Gunung Bromo

"Roro AnTENG dan Joko SeGER menjadi TENGGER"


Gunung Bromo dengan pesonanya yang menawan dan penuh keagungan memiliki cerita yang sangat sayang untuk dilewatkan. Gunung Bromo sendiri merupakan serapan dari bahasa sansekerta “Brahma”, salah seorang Dewa Utama Hindu. Suku Tengger merupakan suku asli di Kawasan Gunung Bromo. Asal muasal nama Tengger dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger diambil dari suku kata akhir nama Roro Anteng yaitu “Teng” dan suku kata akhir nama Joko Seger yaitu “Ger” sehingga menjadi “Tengger”. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi sebagai simbol perdamaian abadi.
Konon di sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana/Pandhita melahirkan seorang putra yang sangat bugar, sehat dan tangisannya sangat keras sehingga bayi tersebut diberi nama “Joko Seger”. Di sisi lain, di sekitar Gunung Penanjakan lahirlah seorang putri dari titisan dewa yang cantik dan tidak menangis ketika pertama kali menghirup udara bumi sehingga ia diberi nama “Rara Anteng”. Waktu terus berlalu sehingga Rara Anteng tumbuh dewasa dan menjadi gadis cantik dambaan para pria. Kecantikan Rara Anteng menyebar ke seluruh penjuru sehingga banyak putera raja melamarnya. Namun Rara Anteng elah terpikat oleh kegagahan Joko Seger yang juga terpikat oleh kecantikannya sehingga berbagai lamaran yang diterima ditolak oleh Rara Anteng. Suatu ketika, seorang bajak yang terkenal sakti, kuat dan jahat meminang Rara Anteng. Rara Anteng sangat bingung memikirkan cara untuk menolaknya, sehingga Rara Anteng akhirnya meminta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung yang diselesaikan dalam waktu semalam dimulai dari matahari terbenam hingga matahari terbit untuk menerima lamarannya. Tak disangka, bajak yang jahat tersebut menerima permintaan Rara Anteng yang aneh tersebut. Rara Anteng mulai gelisah ketika pekerjaan pelamar sakti itu hampir selesai sedangkan matahari belum juga muncul. Setelah berpikir keras, Rara Anteng menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara gesekan alu (alat menumbuk padi) membangunkan lelapnya ayam-ayam. Kokok ayam yang  terbangun dan mulai bersahutan seolah-olah fajar telah tiba, tapi penduduk belum memulai aktifitasnya. Kokok ayam terdengar oleh si bajak namun pancaran sang surya belum menampakkan dirinya. Melihat kondisi tersebut, bajak merasa kesal dan marah karena pekerjaannya yang belum selesai sedangkan pagi mulai menjelang. Emosi dan amarah menyeruak ke tubuh si bajak sehingga batok kelapa (tempurung kelapa) yang digunakan untuk mengeruk pasir dilemparkan dan jatih telungkup di samping Gunung Bromo. Batok kelapa tersebut berubah menjai sebuah gunung yang sampai sekarang dikenal dengan nama “Gunung Batok”. Kegagalan bajak tersebut melegakan hati Rara Anteng dengan suka cita.
Benih benih cinta antara Rara Anteng dan Jaka Seger terus berlanjut sampai mereka menikah menjadi pasangan yang saling mencintai dan menyayangi. Pasangan ini membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, dengan maksud “Penguasa Tengger yang Budiman”. Kehidupan masyarakat Tengger dari waktu ke waktu berjalan dengan makmur dan damai. Namun berbeda yang dirasakan oleh pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger karena belum dikaruniai buah hati. Dengan penuh rasa percaya kepada Yang Maha Kuasa, pasangan ini melakukan semedi di puncak Gunung Bromo dengan harapan agar dikaruniai keturunan. Tiba-tiba terdengar suara ghaib yang berkata semedi mereka akan terkabul dengan syarat bila mendapatkan keturunan, maka anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Mendengar suara tersebut dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan keturunan maka pasangan tersebut menyanggupinya. Hari, bulan, tahun berlalu Rara Anteng dan Joko Seger dikaruniai 25 orang putra putri. Tibalah saatnya mengorbankan anak terakhir yaitu Kusuma ke Kawah Bromo. Namun naluri orang tua tak sanggup menjalaninya sehingga mereka mengingkari janjinya. Sehingga Dewa marah dan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara menjadi gelap gulita sehingga kawah Gunung Bromo menyemburkan api dengan dahsyat. Api semburan Gunung Bromo menjilat Kusuma hingga masuk ke Kawah Bromo. Bersama itu terdengarlah suara ghaib “saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tentram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji berupa hasil bumi kemudian dipersembahkan kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.” Sejak saat itu saudara-saudara Kusuma terus melaksanakan perintahnya hingga akhir hayatnya.
Kebiasaan melakukan upacara Yadnya Kasada terus dilakukan masyarakat hingga saat ini. Setahun sekali suku Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada yang bertempat di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke kawah Gunung Bromo. Upacara dilaksanakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasada (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa. Kawasan Bromo yang menawan dan indah juga terdapat misteri yang menyelimutinya.


Lokasi

Gunung Bromo terletak pada Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang.

Kendaraan yang bisa menjangkau

  • Kendaraan roda 4 (Jeep, 4wd)
  • Kendaraan roda 2 (KLX, Trail)

Kegiatan

Upacara Kasodo setiap tanggal 14 atau 15 pada bulan kesepuluh penanggalan Jawa

Biaya

Wisatawan Domestik weekday Rp.27,500 / weekend: Rp. 32,500
Wisatawan Internasional weekday Rp. 217,500 / weekend Rp. 317,500
Kendaraan roda 4: Rp. 10,000
Kendaraan roda 2: Rp. 5,000
Sepeda: Rp. 2,000
kuda: Rp. 1,500

Jam Operasional

24 jam



Yuk pilih paket wisata sesuka sobat hanya di www.antasenatour.com :)


Let's go everywhere